Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Ketika Irjen Pol M Wagner Damanik Rindu Partuha Maujana Simalungun Bersatu Lagi

Bincang-bincang dengan  St Irjen Pol Drs Maruli Wagner Damanik, M.AP yang kini menjabat sebagai Tenaga Pengkaji Lemhanas RI di Jakarta Minggu 22 April 2018 lalu. Photo: Asenk Lee Saragih
BeritaSimalungun-Keprihatinan Tokoh Simalungun Nasional yakni St Irjen Pol Drs Maruli Wagner Damanik, M.AP terhadap dualisme kepengurusan Harungguan Bolon (HB) Partuha Maujana Simalungun (PMS) harus diakhiri. HB PMS versi JR Saragih dan Marsiaman Saragih harus dilebur dengan rasa besar hati, agar PMS semakin berdaulat sebagai salah satu organisasi Adat Simalungun yang kuat dan berwibawa.
 St Irjen Pol Drs Maruli Wagner Damanik, M.AP pernah ingin mencalonkan jadi Ketua DPP PMS, namun ditelikung JR Saragih. Menyikapi keberadaan PMS saat ini, Penulis berbincang-bincang dengan  St Irjen Pol Drs Maruli Wagner Damanik, M.AP yang kini menjabat sebagai Tenaga Pengkaji Lemhanas RI di Jakarta Minggu 22 April 2018 lalu. Berikut ini petikan bincangbincangnya.

Bagaimana Pendapat Anda soal keberadaan PMS saat ini?

Sungguh miris melihat perkembangan PMS saat ini, yang telah mengalami disorientasi dengan timbulnya dua kubu kepengurusan Harungguan Bolon (HB),baik yang telah dilaksanakan di Medan (Marsiaman Saragih), maupun yang dilaksanakan di Pematang Raya (JR Saragih),guna memilih Ketua Presidium PMS berikut MHN (Majelis Hapartuhaon Nabolon).

Masing-masing kubu merasa paling benar karena menganggap telah sesuai dengan AD/ART PMS. Argumentasi pembenaran diri telah mereka pertontonkan di ruang publik, sehingga aroma perpecahan menjadi sangat jelas. Hal ini juga tidak terlepas dari keberadaan MHN (sebagai penasehat, pengawas dan arbitrator) yang kurang bisa menunjukkan kepiawaiannya dalam menyatukan kedua kubu tersebut.

Menurut Anda, lahirnya PMS untuk siapa?

Jangan Sekali Melupakan Sejarah (Jasmerah). Mencermati pertikaian para petinggi kedua kubu PMS saat ini, maka semakin terlihat adanya perebutan kekuasaan, karena "mungkin"mereka menganggap melalui PMS akan lebih mudah merebut simpati masyarakat demi kepentingan pribadi (vested interest) maupun kelompok. 

Peristiwa ini sangat bertolak belakang dengan peristiwa yang terjadi pada saat awal berdirinya PMS  beberapa puluh tahun yang lalu. Sejarah pendirian PMS dilatar belakangi keinginan untuk menghidupkan kembali budaya dan identitas Simalungun pada masa itu, yang telah tergerus oleh perkembangan zaman.

Kelahiran PMS Januari 1960  merupakan rangkaian sejarah panjang perkembangan masyarakat Simalungun, mulai dari masa penjajahan, kemerdekaan, zaman kerajaan sampai terjadinya  revolusi sosial dengan terbunuhnya raja-raja dan keluarga raja di Simalungun. 

Hal lain yang turut menyumbang melunturnya identitas Simalungun adalah karena pada saat itu banyak orang Simalungun yang menganut agama Kristen, yang dalam tata ibadah Gerejanya menggunakan bahasa Toba.

Hal itu terjadi akibat denominasi Gereja HKBP di Simalungun dengan nama HKBPS (Huria Kristen Batak Protestan Simalungun 1952 - 1963), yang belakangan berubah menjadi GKPS (Gereja Kristen Protestan Silmalungun). Hal-hal di atas telah berdampak pada banyaknya orang Simalungun tidak mau mengaku Simalungun karena malu atau trauma akibat revolusi sosial masa lalu, dimana orang Simalungun saling bunuh dan yang menjadi korbannya para Raja berikut keluarganya.

Bergerak dari kondisi yang sulit tersebut maka timbullah keinginan  tokoh-tokoh Simalungun pada masa itu, untuk merangkul dan menyatukan semua elemen Simalungun termasuk menumbuhkan kecintaan dan kebanggaan identitas hasimalungunon (Ahap Simalungun). 

Beberapa tokoh Simalungun masa itu, antara lain Pdt. JP Siboro (Wakil Ephorus HKBPS) berikutTuan Bandaralam Purba Tambak (Keturunan Raja Silou yang beragama Muslim), berinisiatif membentuk lembaga yang bisa mempersatukan semua elemen masyarakat, dengan nama Partuha Maujana Simalungun (PMS). 

Partuha diartikan sebagai tokoh adat, agama dan tokoh masyarakat; sedangkan Maujana adalah kaum terpelajar, cendekiawan, kaum muda TNI, Polri, dan PNS . Semua elemen tersebut bersatu dalam PMS, guna menghidupkan, membangun dan mengembangkan kembali budaya Simalungun.

Menurut Anda, apa makna dari Falsafah Habonaran Do Bona?

Para tokoh pendiri PMS berupaya mencari bentuk terbaik guna mengobati masa lalu dengan maksud agar kehidupan ke depan lebih maju, tanpa kehilangan jati diri hasimalungunon. Atas dasar itu maka ditetapkanlah falsafah hidup PMS berupa"Habonaron Do Bona", yang merupakan nilai-nilai yang mampu membentuk pribadi manusia menjadi insan yang berbudi luhur. 

Kedamaian, kesatuan, kemajuan dan lainnya harus diawali dengan hal yang benar dan jujur. Sedangkan falsafah kerjanya "Sapangambei Manoktok Hitei" yaitu bergotong royong demi tujuan mulia. Dalam menjalankan ini, pengurus dan anggota PMS dituntut juga memahami Trilogi PMS, yaitu: SibotohAgama, Sibotoh Adat dan Sibotoh Uhum (memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang agama, adat dan hukum).

Betapa hebat dan visionernya para pendiri PMS dengan falsafah yang bernilai sangat tinggi dan luhur tersebut. Para penerus PMS saat ini tentulah sudah sepatutnya menghargai niat luhur para tokoh pendiri itu, dengan tetap memelihara, mengembangkan dan mengaktualisasikan nilai-nilai luhur falsafah Habonaron Do Bona, bukan saja di tanah Simalungun, bahkan di seluruh penjuru bumi. 

Lalu pendapat Anda soal perkembangan PMS saat ini?

Organisasi PMS merupakan organisasi sosial budaya yang bersifat independen, tidak terikat kepada kepentingan politik, golongan/marga, atau penguasa/pemerintah, melainkan bebas dan mandiri dalam bersikap dan bertindak guna membangun masyarakat dan budaya Simalungun (sesuai dengan AD/ART PMS). PMS diharapkan dapat bersinergi dengan Pemkab Simalungun guna membangun Simalungun yang lebih baik dari masa ke masa.

Perkembangan PMS dua periode terakhir ini memang terasa sangat memprihatinkan, tanpa bermaksud mempersalahkan dan memperjelek pihak manapun.

Banyak pihak mempersoalkan kepengurusan PMS periode tahun 2010 - 2015, baik kubu Pematang Raya (JR Saragih selaku Bupati Simalungun), maupun kubu Medan (Marsiapan Saragih). Masing-masing punya argumentasi sebagai pembenaran diri, seperti yang bisa kita lihat sekarang ini. 

Tentu akan sulit membenarkan atau menyalahkan salah satu kubu, karena hal ini merupakan domainnya hakim (pengadilan) yang berhak memutuskan siapa yang paling benar.

Dari hasil analisa sementara Saya, sebenarnya awal dari semua keriuhan itu bersumber dari lemahnya pengaturan  AD/ART PMS. Banyak hal yang masih belum diatur secara detail khususnya yang berkaitan dengan Mekanisme Pencalonan dan Pemilihan Ketua Presidium berikut persyaratannya, System Checks and Balances, serta pengaturan apabila terjadi demisioner. 

Sangat tidak masuk akal memang, AD/ART tidak bisa dibuat dengan baik, padahal banyak tokoh intelektual dan pakar hukum dari warga Simalungun. Patut diduga memang ada pembiaran AD/ART sedemikian rupa, sehingga bisa melanggengkan kepentingan pihak-pihak tertentu di PMS. 

Hal ini juga luput dari perhatian para tokoh sesepuh dan pinisepuh Simalungun dalam hal ini MHN, yang masih belum optimal menunjukkan peranannya guna mengembalikan marwah PMS kepada tujuan sejatinya.

Ke depan pembenahan organisasi ini harus dilakukan dengan jujur dan benar,dimulai dari revisi AD/ART secara objektif, rinci sesuai tujuan dan cita-cita, bukan untuk kepentingan sesaat. Tentulah juga akan sangat baik jika PMS tidak digiring kepada kepentingan politik praktis semata oleh para pengurusnya. Untuk itu akan sangat tepat apabila Para Pengurus (Ketua Presidium dan MHN) bukan merupakan anggota/pengurus partai politik tertentu dan juga bukan pula seorang Kepala Daerah, demi terjaganya objektifitas dan pemuliaan tujuan organisasi.

Saran Anda untuk MHN PMS?

Mari Bersatu. Melihat latar belakang dan tujuan pendirian PMS, tentulah di dalamnya terlihat betapa pentingnya organisasi ini dipertahankan, dikembangkan dan ditingkatkan peranannya. Sebenarnya ada rasa malu di hati ketika melihat keriuhan yang menimbulkan perpecahan PMS saat ini. 

Saya mencoba berbagi pengalaman ketika bertugas di Sumatera Barat, dimana pranata sosial yang ada di masyarakat Minang berupa Lembaga Kerapatan Adat Minangkabau (LKAM), saling bahu membahu dengan Pemerintah Daerah dalam membangun daerahnya. Terbukti dengan kolaborasi ini, berdampak signifikan dalam peningkatan pembangunan di provinsi tersebut.

Sudah saatnya kita harus duduk bersama, bergandengan tangan, bahu-membahu dan kerjasama secara berkelanjutan (sustainable) dengan hati yang mau membuka diri guna mengembalikan dan menyatukan kembali PMS  sebagaimana cita-cita luhur para founding father Bumi Habonaron Do Bona.Mari kita jalankan falsafah kerja Sapangambei Manoktok Hitei untuk menjadikan Simalungun yang lebih beradab, sekaligus menumbuhkan rasa bangga menjadi warga Simalungun.

Jangan pernah sekalipun melecehkan arti PARTUHA dan MAUJANA, soliditas dan solidaritas merupakan kunci utama dalam membangun Simalungun, apalagi ke depan akan banyak event-event budaya yang akan kita tampilkan dalam menyongsong Danau Toba sebagai "Monaco of Asia". Lebih baik kita tingkatkan kualitas SDM Simalungun melalui PMS dari pada harus 'riuh' dalam perselisihan pandangan dan kepentingan. Semoga kerinduan ini segera terwujud, PMS Bisa Bersatu Kembali. (BS-Lee)


Berita Terkait

22. Sukses Pesparawi Wanita GKPS Se Indonesia
23. Sosok Irjen Pol Wagner Damanik
 
 

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments